Salah satu sifat yang amat menonjol pada orang Batak, adalah ikatan kekeluargaan. Jika 2 (dua) orang Batak bertemu, yang pertama sekali mereka lakukan adalah martutur (bukan saja berarti berkata-kata, tetapi khas berkata-kata tentang hubungan marga dan kekeluargaan). Begitu pentingnya martutur diungkapkan dalam peribahasa berikut: “Ditiptip sanggar baen huru-huruan, jolo ni sapai marga anso binoto partuturan”.
Rasa kekeluargaan yang kental, sistem kekeluargaan dalihan na tolu, na ojak di bondul na opat (kahanggi, anak boru, mora dohot hatobangon harajaon ni huta), yang satu tidak dapat hidup tanpa yang lain. Sistem kekeluargaan jelas tidak dapat jalan tanpa sitem marga, sebaliknya sistem marga akan hilang maknanya kalau tidak diterapkan dan dikembangkan dalam sistem kekeluargaan.
Mangihutkon tutur ni na jumolo sundut, Raja Batak yang pertama bernama Nagalottung, dialah yang membuka perkampungan Sianjur, Sianjur mula toppa, Sianjur mula jadi, mula jadi ni adat raja-raja di tano Batak. Asa ibana ma tingki dingoluna, sitiop gagang dohot gugung, sitiop adat sidabu uhum. Pahoppuna (cucu) yang pewaris bernama Siregar gelar Aji Guru Tunggul Panaluan Jati. Salah satu karya ajaran moral oleh Nagalottung diwariskan kepada keturunannya (untuk dilestarikan) dari generasi ke generasi berikut (sian sundut tu sundut na mangihut) hasil rapat adat di Sianjur bertempat di Sopo gonjang, Sopo rancang, Sopo sio dalom na godang i ma na digoaran: Bona ni Adat-Adat Sianjur.
Perkataan adat dalam Bona ni Adat terasa agak menyimpang maknanya yang dewasa ini melekat pada kata itu. Biasanya kata adat kita gunakan dalam upacara perkawinan, dalam horja atau upacara kematian. Tapi dalam Adat Sianjur makna/artinya lebih dekat pada apa yang kita sebut “norma/etika” yaitu ajaran yang mengandung nilai-nilai kebaikan dan tanggun jawab yang patut diteladani didalam pergaulan manusia yang beradab. Adat Sianjur adalah ajaran moral untuk hidup lebih layak dan bertanggung jawab.
Adat Sianjur – Bona ni Adat diwariskan nenek pendahulu dengan harapan dapat mengangkat harkat dan martabat orang-orang Batak yang “tempo doeloe” dikenal suka berkelahi, suka berjudi, suka minum tuak dan yang serupa dengan itu, ke tingkat manusia beradab yang suka damai, suka kebaikan, suka maju dan sebagainya. Dari manusia-manusia yang malas, suka ogah-ogahan bekerja, menjadi orang rajin, tangkas, dan bertanggung jawab, yang tahu tata tertib, tahu sopan santun, teguh hati dan menepati janji yang dibuatnya, yang lemah lembut bicaranya, yang lebih suka mengalah kalau menghadapi kawan, dari pada putus tali kerabat.
Adat Sianjur yang diwariskan nenek pendahulu kita, merupakan suatu ajaran yang monumental, patut dilestarikan dan diajarkan kepada generasi muda. Mungkin ada orang mengatakan bahwa kode etik ini sudah ketinggalan zaman, tetapi kalau kita periksa dan diteliti, kode etik warisan nenek kita ini lebih maju dari zamannya.
Contoh khusus misalnya: ajaran untuk batuk bila hendak memasuki sopo godang ataupun rumah orang lain. Dewasa ini orang mengucapkan: Assalamualaikum atau Punten di daerah Sunda, dizaman Belanda orang mengucapkan Spada (siapa ada, any body home).
Contoh lain dibidang manajemen modern, terdapat unsur planning, yaitu keharusan bahwa setiap langkah sebelumnya harus dipikirkan masak-masak. Unsur pemikiran sebelum bertindak ini, juga terdapat dalam Bona ni Adat – Adat Sianjur yang mengatakan bahwa: suatu usaha yang salah diawal, akan juga salah diakhir.
Bona ni Adat – Adat Sianjur menyangkut hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Ini praktis tidak berobah, atau barangkali bilapun ada perubahan setelah waktu jangka panjang, kemungkinan ribuan tahun.
Bona ni Adat – Adat Sianjur menunjukkan kepekaan terhadap sifat-sifat jiwa manusia dan apa-apa yang diperlukan jiwa itu. Jiwa yang dalam bahasa Batak disebut tondi, haus akan bimbingan, tuntunan untuk keselamatannya. Tondi memegang peranan yang sangat utama didalam kehidupan orang Batak. Ini sesuai dengan ajaran agama, karena dalam agama diajarkan bahwa manusia memasuki kehidupan akhirat (alam setelah kehidupan di dunia) bukan dalam badan jasmani melainkan jiwa (roh manusia yang ada dalam tubuh dan menyebabkan hidup). Yang harus diselamatkan bukan kehidupan dunia (raga), melainkan kehidupan akhirat (jiwa).
Huta Sibadoar “tempo doeloe” ada penjaganya yang dikenal dengan nama “pangulubalang”, konon satu-satunya huta di Luat Sipirok na mar pangulubalang. Pangulubalang adalah patung batu (di gorga) bentuk manusia mini. Konon patung itu sebelumnya “di-isi” dengan jasad manusia yang sengaja dikorbankan dan diolah sedemikian rupa khusus untuk membuat “pangulubalang”. Pangulubalang pada saat-saat tertentu (periodik) di-pele (diberi makan) oleh majikannya yang menunya berupa padi yang digonseng (bertih), telur ayam kampung, dll. Seandainya majikannya terlambat ma-mele (memberi makan), ada harapan telur ayam sekampung yang sedang dierami akan “bayuhon” (tidak jadi menetas) karena sebelumnya telah disantap oleh pangulubalang.
Roh manusia yang jasadnya ada dalam pangulubalang, dipercaya dapat berfunggsi sebagai penjaga huta. Jika ada musuh (zaman doeloe sering kejadian) mau menyerbu masuk huta, ataupun akan timbul wabah kolera (begu attuk) dan lain-lain bencana, maka sebelumnya oleh pangulubalang akan diberikan peringatan-peringatan dini dengan tanda-tanda umpamanya, semut-semut merah bermunculan disekeliling huta secara menyolok, dan atau tanda-tanda alam lainnya yang tidak lazim, bahkan katanya suara-suara aneh yang bersumber dari pangulubalang. Berdasarkan ini semua (majikannya biasanya cepat tanggap) orang sekampung dapat mengambil tindakan berjaga-jaga (mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya).
Lokasi tempat pangulubalang di jalan-jalan masuk huta Sibadoar, terakhir masih nampak keberadaannya arah jalan ke Pangkal Dolok. Setelah agama monotheisme masuk ke Luat Sipirok, pangulubalang ini tidak lagi secara serius di-pele sebagaimana seharusnya sehingga karenanya hilanglah kharisma/ke-angkerannya dan menjadi tawar serta lama-lama terlupakan.
Iparhanda almarhum St. M. P. Pane (lahir tahun 1935) bercerita pengalamannya tentang pangulubalang. Semasa masih sekolah di Sekolah Rakyat sekitar tahun 1948/1949, pernah datang ke huta Sibadoar seorang tua yang katanya berasal dari Luat Pangaribuan untuk melihat pangulubalang yang ada di huta Sibadoar yang memang cukup beken “tempo doeloe” di seantero Luat Sipirok. M.P. Pane dengan teman-temannya sepermainan membawa orang tua tadi ke lokasi pangulubalang yang di jalan arah ke huta Pangkal Dolok. Orangtua itu sejenak memperhatikan pangulubalang yang kelihatannya memang kurang terpelihara, dan ia mendekatinya serta mulai menggosok dan menepuk-nepuk bahu pangulubalang. Tiba-tiba saja tanah sekitar bergetar diikuti suara gemuruh mobil jalan dipendakian, sepertinya ada gempa bumi ringan. Mereka yang masih usia anak-anak tentu saja terkejut dan ketakutan serta lari pulang ke huta meninggalkan orang tua tadi. Bagaimana dan kemana orang tua yang mengaku datan dari Luat Pangaribuan itu tidak diceritakan. Keberadaan pangulubalang Sibadoar hanya tinggal kenangan, dan telah hilang seolah ditelan bumi.
Sangatlah ramai dan menjadi pembicaraan hangat masyarakat di Luat Sipirok kejadian tahun 1902 tatkala almarhum Sutan Martua Kepala Kuria Parausorat dimakamkan dengan upacara Gaja Lumpat. Kebetulan sebelum almarhum meninggal orang Sipirok berbantahan dengan orang-orang Parausorat, karena orang-orang Sipirok meminjam piring, mangkuk, garpu dan sendok. Sementara tetamu masih ada di Sipirok dan memakai peralatan yang dipinjam, oleh orang Parausorat sudah diminta untuk dikembalikan. Tentu saja orang-orang Sipirok merasa diper-“malu”kan dan berakibat sakit hati. Pada waktu acara menarik roto Gaja Lumpat marhum Sutan Martua Kepala Kuria Parausorat, orang-orang Sipirok balas dendam dengan cara, ber-ramai-ramai dari bagian belakang Gaja Lumpat, sedang anak buah Kuria Parausorat dan Baringin Tumburjati dari bagian muka Gaja Lumpat. Dan tidak mengherankan terjadilah tarik-tarikan seperti anak-anak bermain tali. Dari bagian muka menarik/menghela tali maldo (sejenis rotan sepanjang ± 10 meter) beramai ramai dengan tujuan agar jenazah secepatnya sampai di lokasi pemakaman luar “huta” (sopo dibalian). Sementara dari bagian belakang sekuatnya menarik dan menahan tali maldo yang panjangnya juga ± 10 meter dengan tujuan agar tertunda pemakamannya.
Kejadian berlangsung dari jam 9.00 pagi sampai sore hari jam 16.00. Roto Gaja Lumpat yang membawa jenazah marhum Sutan Martua Kepala Kuria Parausorat masih tetap di lapangan depan rumah Kepala Kuria (alaman silangse utang) seperti semula. Bergeser kedepan sedepa, ditarik kebelakang dua depa oleh orang-orang Sipirok, begitu seterusnya mundur maju. Penarik dan yang menahan pendukung Kuria Parausorat dan Baringin Tumburjati kontra Kuria Sipirok, silih berganti namun situasi tidak berubah, dan nampaknya tidak ada yang mau mengalah.
Melihat situasi yang menegangkan dan aneh itu, Pemerintah Kolonial Belanda campur tangan yaitu Conteleur dan Asisten Residen (setingkat Camat dan Pembantu Bupati) yang memang ikut hadir dalam upacara pemakaman sebagai menghormati almarhum mewakili Pemerintah. Mereka meminta dengan hormat, agar tarik menarik jenazah diatas roto Gaja Lumpat segera disudahi saja demi kebaikan kedua belah pihak (Kuria Parausorat dan Baringgin Tumburjati disatu pihak, kontra Kuria Sipirok dilain pihak). Namun permintaan itu tidak diacuhkan, dengan alasan “hal seperti ini” dibenarkan, sah-sah saja sepanjang adat (on ma tingkina), dan karenanya tidak perlu dicampuri Pemerintah.
Untunglah kemudian Pendeta P. S. Schutz turun tangan, pendeta tua yang sudah lebih 40 tahun bekerja di Huria Bungabondar. Beliau berkata dengan lemah lembut kepada raja-raja, pemuka-pemuka adat Kuria Parausorat, Kuria Baringin Tumburjati dan juga Kuria Sipirok untuk mengakhiri acara itu dan sebagai penutup beliau berkata: saya berharap pertengkaran ini kita akhiri sajalah, agar kita segera makan siang, saya sendiri sudah lemas dan sangat lapar karena waktu makan sudah lewat. Memang pendeta ini seorang ahli damai, dicintai dan sangat dihormati masyarakat umum di Luat Sipirok. Lalu semua mufakat dan sepakat menarik jenazah marhum Sutan Martua kepemakaman.
Catatan:
Menurut cerita orang tua-tua “tempo doeloe” Ja Parjanjian (Mangaraja Parjanjian I) mengambil isteri boru Harahap dari Sabungan Julu (daerah Angkola Julu). Itu sebabnya orang Sibadoar mar-bona ni ari tu marga Harahap Sabungan Julu, dan pada waktu merencanakan pembangunan Tugu Gaja Sibadoar, sebelum pekerjaan dimulai, hatobangan Huta Sibadoar sebelumnya memberitahukan serta mohon restu akan niat perbaikan makam/pusara Ja Parjanjian (Mangaraja Parjanjian I) dan isterinya boru Harahap. Seterusnya diceritakan tatkala boru Harahap dari Sabungan Julu datang sebagai “boru” (pengantin) ke Sibadoar, memakai kendaraan/menaiki seekor gajah putih, dan konon sempat diikat (ditambat) di lokasi Tambatan Gaja agar supaya gajah itu tidak ngeluyur kemana-mana.
Barangkali saja upacara Gaja Lumpat yang diadakan sekali setahun pada zaman “hasipele beguon”, masa sebelum agama monotheisme masuk ke Luat Sipirok, dan atau kedatangan boru Harahap dari Angkola Julu naik gajah putih sebagai boru (pengantin) ke Sibadoar ada kaitannya dengan nama Tambatan Gaja.