Friday, September 28, 2007

Bona ni Adat-Adat Sianjur


Salah satu sifat yang amat menonjol pada orang Batak, adalah ikatan kekeluargaan. Jika 2 (dua) orang Batak bertemu, yang pertama sekali mereka lakukan adalah martutur (bukan saja berarti berkata-kata, tetapi khas berkata-kata tentang hubungan marga dan kekeluargaan). Begitu pentingnya martutur diungkapkan dalam peribahasa berikut: “Ditiptip sanggar baen huru-huruan, jolo ni sapai marga anso binoto partuturan”.

Rasa kekeluargaan yang kental, sistem kekeluargaan dalihan na tolu, na ojak di bondul na opat (kahanggi, anak boru, mora dohot hatobangon harajaon ni huta), yang satu tidak dapat hidup tanpa yang lain. Sistem kekeluargaan jelas tidak dapat jalan tanpa sitem marga, sebaliknya sistem marga akan hilang maknanya kalau tidak diterapkan dan dikembangkan dalam sistem kekeluargaan.

Mangihutkon tutur ni na jumolo sundut, Raja Batak yang pertama bernama Nagalottung, dialah yang membuka perkampungan Sianjur, Sianjur mula toppa, Sianjur mula jadi, mula jadi ni adat raja-raja di tano Batak. Asa ibana ma tingki dingoluna, sitiop gagang dohot gugung, sitiop adat sidabu uhum. Pahoppuna (cucu) yang pewaris bernama Siregar gelar Aji Guru Tunggul Panaluan Jati. Salah satu karya ajaran moral oleh Nagalottung diwariskan kepada keturunannya (untuk dilestarikan) dari generasi ke generasi berikut (sian sundut tu sundut na mangihut) hasil rapat adat di Sianjur bertempat di Sopo gonjang, Sopo rancang, Sopo sio dalom na godang i ma na digoaran: Bona ni Adat-Adat Sianjur.

Perkataan adat dalam Bona ni Adat terasa agak menyimpang maknanya yang dewasa ini melekat pada kata itu. Biasanya kata adat kita gunakan dalam upacara perkawinan, dalam horja atau upacara kematian. Tapi dalam Adat Sianjur makna/artinya lebih dekat pada apa yang kita sebut “norma/etika” yaitu ajaran yang mengandung nilai-nilai kebaikan dan tanggun jawab yang patut diteladani didalam pergaulan manusia yang beradab. Adat Sianjur adalah ajaran moral untuk hidup lebih layak dan bertanggung jawab.

Adat Sianjur – Bona ni Adat diwariskan nenek pendahulu dengan harapan dapat mengangkat harkat dan martabat orang-orang Batak yang “tempo doeloe” dikenal suka berkelahi, suka berjudi, suka minum tuak dan yang serupa dengan itu, ke tingkat manusia beradab yang suka damai, suka kebaikan, suka maju dan sebagainya. Dari manusia-manusia yang malas, suka ogah-ogahan bekerja, menjadi orang rajin, tangkas, dan bertanggung jawab, yang tahu tata tertib, tahu sopan santun, teguh hati dan menepati janji yang dibuatnya, yang lemah lembut bicaranya, yang lebih suka mengalah kalau menghadapi kawan, dari pada putus tali kerabat.

Adat Sianjur yang diwariskan nenek pendahulu kita, merupakan suatu ajaran yang monumental, patut dilestarikan dan diajarkan kepada generasi muda. Mungkin ada orang mengatakan bahwa kode etik ini sudah ketinggalan zaman, tetapi kalau kita periksa dan diteliti, kode etik warisan nenek kita ini lebih maju dari zamannya.

Contoh khusus misalnya: ajaran untuk batuk bila hendak memasuki sopo godang ataupun rumah orang lain. Dewasa ini orang mengucapkan: Assalamualaikum atau Punten di daerah Sunda, dizaman Belanda orang mengucapkan Spada (siapa ada, any body home).

Contoh lain dibidang manajemen modern, terdapat unsur planning, yaitu keharusan bahwa setiap langkah sebelumnya harus dipikirkan masak-masak. Unsur pemikiran sebelum bertindak ini, juga terdapat dalam Bona ni Adat – Adat Sianjur yang mengatakan bahwa: suatu usaha yang salah diawal, akan juga salah diakhir.

Bona ni Adat – Adat Sianjur menyangkut hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Ini praktis tidak berobah, atau barangkali bilapun ada perubahan setelah waktu jangka panjang, kemungkinan ribuan tahun.

Bona ni Adat – Adat Sianjur menunjukkan kepekaan terhadap sifat-sifat jiwa manusia dan apa-apa yang diperlukan jiwa itu. Jiwa yang dalam bahasa Batak disebut tondi, haus akan bimbingan, tuntunan untuk keselamatannya. Tondi memegang peranan yang sangat utama didalam kehidupan orang Batak. Ini sesuai dengan ajaran agama, karena dalam agama diajarkan bahwa manusia memasuki kehidupan akhirat (alam setelah kehidupan di dunia) bukan dalam badan jasmani melainkan jiwa (roh manusia yang ada dalam tubuh dan menyebabkan hidup). Yang harus diselamatkan bukan kehidupan dunia (raga), melainkan kehidupan akhirat (jiwa).

Thursday, September 27, 2007

Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (11)


Huta Sibadoar “tempo doeloe” ada penjaganya yang dikenal dengan nama “pangulubalang”, konon satu-satunya huta di Luat Sipirok na mar pangulubalang. Pangulubalang adalah patung batu (di gorga) bentuk manusia mini. Konon patung itu sebelumnya “di-isi” dengan jasad manusia yang sengaja dikorbankan dan diolah sedemikian rupa khusus untuk membuat “pangulubalang”. Pangulubalang pada saat-saat tertentu (periodik) di-pele (diberi makan) oleh majikannya yang menunya berupa padi yang digonseng (bertih), telur ayam kampung, dll. Seandainya majikannya terlambat ma-mele (memberi makan), ada harapan telur ayam sekampung yang sedang dierami akan “bayuhon” (tidak jadi menetas) karena sebelumnya telah disantap oleh pangulubalang.

Roh manusia yang jasadnya ada dalam pangulubalang, dipercaya dapat berfunggsi sebagai penjaga huta. Jika ada musuh (zaman doeloe sering kejadian) mau menyerbu masuk huta, ataupun akan timbul wabah kolera (begu attuk) dan lain-lain bencana, maka sebelumnya oleh pangulubalang akan diberikan peringatan-peringatan dini dengan tanda-tanda umpamanya, semut-semut merah bermunculan disekeliling huta secara menyolok, dan atau tanda-tanda alam lainnya yang tidak lazim, bahkan katanya suara-suara aneh yang bersumber dari pangulubalang. Berdasarkan ini semua (majikannya biasanya cepat tanggap) orang sekampung dapat mengambil tindakan berjaga-jaga (mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya).

Lokasi tempat pangulubalang di jalan-jalan masuk huta Sibadoar, terakhir masih nampak keberadaannya arah jalan ke Pangkal Dolok. Setelah agama monotheisme masuk ke Luat Sipirok, pangulubalang ini tidak lagi secara serius di-pele sebagaimana seharusnya sehingga karenanya hilanglah kharisma/ke-angkerannya dan menjadi tawar serta lama-lama terlupakan.

Iparhanda almarhum St. M. P. Pane (lahir tahun 1935) bercerita pengalamannya tentang pangulubalang. Semasa masih sekolah di Sekolah Rakyat sekitar tahun 1948/1949, pernah datang ke huta Sibadoar seorang tua yang katanya berasal dari Luat Pangaribuan untuk melihat pangulubalang yang ada di huta Sibadoar yang memang cukup beken “tempo doeloe” di seantero Luat Sipirok. M.P. Pane dengan teman-temannya sepermainan membawa orang tua tadi ke lokasi pangulubalang yang di jalan arah ke huta Pangkal Dolok. Orangtua itu sejenak memperhatikan pangulubalang yang kelihatannya memang kurang terpelihara, dan ia mendekatinya serta mulai menggosok dan menepuk-nepuk bahu pangulubalang. Tiba-tiba saja tanah sekitar bergetar diikuti suara gemuruh mobil jalan dipendakian, sepertinya ada gempa bumi ringan. Mereka yang masih usia anak-anak tentu saja terkejut dan ketakutan serta lari pulang ke huta meninggalkan orang tua tadi. Bagaimana dan kemana orang tua yang mengaku datan dari Luat Pangaribuan itu tidak diceritakan. Keberadaan pangulubalang Sibadoar hanya tinggal kenangan, dan telah hilang seolah ditelan bumi.

Monday, September 24, 2007

Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (10)


Sangatlah ramai dan menjadi pembicaraan hangat masyarakat di Luat Sipirok kejadian tahun 1902 tatkala almarhum Sutan Martua Kepala Kuria Parausorat dimakamkan dengan upacara Gaja Lumpat. Kebetulan sebelum almarhum meninggal orang Sipirok berbantahan dengan orang-orang Parausorat, karena orang-orang Sipirok meminjam piring, mangkuk, garpu dan sendok. Sementara tetamu masih ada di Sipirok dan memakai peralatan yang dipinjam, oleh orang Parausorat sudah diminta untuk dikembalikan. Tentu saja orang-orang Sipirok merasa diper-“malu”kan dan berakibat sakit hati. Pada waktu acara menarik roto Gaja Lumpat marhum Sutan Martua Kepala Kuria Parausorat, orang-orang Sipirok balas dendam dengan cara, ber-ramai-ramai dari bagian belakang Gaja Lumpat, sedang anak buah Kuria Parausorat dan Baringin Tumburjati dari bagian muka Gaja Lumpat. Dan tidak mengherankan terjadilah tarik-tarikan seperti anak-anak bermain tali. Dari bagian muka menarik/menghela tali maldo (sejenis rotan sepanjang ± 10 meter) beramai ramai dengan tujuan agar jenazah secepatnya sampai di lokasi pemakaman luar “huta” (sopo dibalian). Sementara dari bagian belakang sekuatnya menarik dan menahan tali maldo yang panjangnya juga ± 10 meter dengan tujuan agar tertunda pemakamannya.

Kejadian berlangsung dari jam 9.00 pagi sampai sore hari jam 16.00. Roto Gaja Lumpat yang membawa jenazah marhum Sutan Martua Kepala Kuria Parausorat masih tetap di lapangan depan rumah Kepala Kuria (alaman silangse utang) seperti semula. Bergeser kedepan sedepa, ditarik kebelakang dua depa oleh orang-orang Sipirok, begitu seterusnya mundur maju. Penarik dan yang menahan pendukung Kuria Parausorat dan Baringin Tumburjati kontra Kuria Sipirok, silih berganti namun situasi tidak berubah, dan nampaknya tidak ada yang mau mengalah.

Melihat situasi yang menegangkan dan aneh itu, Pemerintah Kolonial Belanda campur tangan yaitu Conteleur dan Asisten Residen (setingkat Camat dan Pembantu Bupati) yang memang ikut hadir dalam upacara pemakaman sebagai menghormati almarhum mewakili Pemerintah. Mereka meminta dengan hormat, agar tarik menarik jenazah diatas roto Gaja Lumpat segera disudahi saja demi kebaikan kedua belah pihak (Kuria Parausorat dan Baringgin Tumburjati disatu pihak, kontra Kuria Sipirok dilain pihak). Namun permintaan itu tidak diacuhkan, dengan alasan “hal seperti ini” dibenarkan, sah-sah saja sepanjang adat (on ma tingkina), dan karenanya tidak perlu dicampuri Pemerintah.

Untunglah kemudian Pendeta P. S. Schutz turun tangan, pendeta tua yang sudah lebih 40 tahun bekerja di Huria Bungabondar. Beliau berkata dengan lemah lembut kepada raja-raja, pemuka-pemuka adat Kuria Parausorat, Kuria Baringin Tumburjati dan juga Kuria Sipirok untuk mengakhiri acara itu dan sebagai penutup beliau berkata: saya berharap pertengkaran ini kita akhiri sajalah, agar kita segera makan siang, saya sendiri sudah lemas dan sangat lapar karena waktu makan sudah lewat. Memang pendeta ini seorang ahli damai, dicintai dan sangat dihormati masyarakat umum di Luat Sipirok. Lalu semua mufakat dan sepakat menarik jenazah marhum Sutan Martua kepemakaman.

Catatan:
Menurut cerita orang tua-tua “tempo doeloe” Ja Parjanjian (Mangaraja Parjanjian I) mengambil isteri boru Harahap dari Sabungan Julu (daerah Angkola Julu). Itu sebabnya orang Sibadoar mar-bona ni ari tu marga Harahap Sabungan Julu, dan pada waktu merencanakan pembangunan Tugu Gaja Sibadoar, sebelum pekerjaan dimulai, hatobangan Huta Sibadoar sebelumnya memberitahukan serta mohon restu akan niat perbaikan makam/pusara Ja Parjanjian (Mangaraja Parjanjian I) dan isterinya boru Harahap. Seterusnya diceritakan tatkala boru Harahap dari Sabungan Julu datang sebagai “boru” (pengantin) ke Sibadoar, memakai kendaraan/menaiki seekor gajah putih, dan konon sempat diikat (ditambat) di lokasi Tambatan Gaja agar supaya gajah itu tidak ngeluyur kemana-mana.

Barangkali saja upacara Gaja Lumpat yang diadakan sekali setahun pada zaman “hasipele beguon”, masa sebelum agama monotheisme masuk ke Luat Sipirok, dan atau kedatangan boru Harahap dari Angkola Julu naik gajah putih sebagai boru (pengantin) ke Sibadoar ada kaitannya dengan nama Tambatan Gaja.

Thursday, September 20, 2007

Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (9)


Pada “tempo doeloe” menarik jenazah ke pemakaman dengan roto Gaja Lumpat dimulai setelah upacara pemberangkatan selesai di halaman (alaman silangse utang), saat sebelum makan siang. Doal sitingguang di langit, tawak-tawak, bedil, lelo dan gondang dibunyikan beraturan pertanda jenazah almarhum akan dibawa ke pemakaman (biasanya lokasi pemakaman diluar huta). Begitu Raja Panusunan Bulung mengakhiri pidato pemberangkatan (dibaen ibana do sitiop tali piruntun na mangkolting songon tali, na mambobok songon soban dengan ucapan: sada, dua, tolu, opat, lima, onom, pitu; pitu sundut sae soada mara…horaskon, dan biasanya diikuti pelayat dengan ucapan horas), roto Gaja Lumpat diarak kepemakaman. Orang sekampung, kahanggi dan anak boru dari bagian depan Gaja Lumpat menarik sekuat-kuatnya. Sedang dibagian belakang yang juga secara ramai-ramai menarik tali untuk menahan dari perkampungan (huta) lain.

Andainya dimasa hidup almarhum ada selisih dengan orang, sakit hati yang tidak diselesaikan semasa hayat, maka mereka-mereka yang termasuk barisan sakit hati akan menghela roto dari belakang, berlawanan dengan mereka yang menarik dari muka/depan. Tata cara ini dibenarkan secara adat, dan dengan demikian diharapkan perselisihan dan sakit hati antara yang masih hidup dengan yang meninggal dapat ter-“selesai”kan sebelum jenazah almarhum dimakamkan.

Catatan:
Kendaraan jenazah roto Gaja Lumpat sama bentuk dan modelnya dengan Gaja Lumpat model gajah-gajahan yang dipakai dalam upacara ma-mele dengan korban manusia di Luat Sipirok pada masa sebelum agama monotheisme masuk ke napa-napa ni Sibualbuali.

Wednesday, September 19, 2007

Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (8)


Pada tahun 1816 upacara Gaja Lumpat dengan korban manusia hidup dilarang bersamaan dengan masuknya agama Islam Bonjol (tingki ni Pidari), Dolok Pamelean (tempat ma-mele dengan manusia sebagai korban kepada Allehewata Sombaon) diratakan, dan pohon beringin besar yang tumbuh diatasnya ditebang dan dibakar habis. Batu lingga yang tegak dibawah pohon Beringin, dicabut dan dihanyutkan ke Aek Sagala. Sebagai pengganti upacara Gaja Lumpat di Luat Sipirok dikenal upacara pemakaman dengan memakai roto Gaja Lumpat, yaitu kendaraan jenazah saat dibawa kepemakaman dengan adat raja-raja. Upacara pemakaman dengan roto Gaja Lumpat adalah penghargaan tertinggi yang dapat diberikan di Luat Sipirok kepada orang yang sudah tua/dituakan, tokoh pemuka masyarakat, turunan raja-raja, sisuan bulu aor (sipungka huta).

Catatan:
Roto kendaraan pembawa jenazah ke pemakaman dengan tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
1. Roto Gobak, peti jenazah ditutup dengan hombung manolon/hombung manusun.
2. Roto Payung, peti jenazah ditutup dengan hombung rapotan.
3. Roto Gaja Lumpat, peti jenazah ditutup dengan hombung rapotan.

Untuk upacara memakai roto ini, minimal dipotong 3 (tiga) ekor kerbau (sigagat duhut), berturut-turut untuk pelayat yang datang (dapotan ni bayo na ro), untuk adat yang meninggal (borotan) dan untuk tamu yang kembali/pulang melayat (hamulion ni bayo). Sebelumnya diadakan persidangan adat yang dihadiri oleh raja-raja Parausorat, Baringin Tumburjati dan Sipirok. Sidang adat ini akan memberikan pertimbangan/keputusan apakah yang meninggal memenuhi persyaratan sepanjang adat untuk dimakamkan memakai kendaraan roto Gaja Lumpat.

Persyaratan sepanjang adat (surat tumbaga holing) untuk upacara Gaja Luppat antara lain:
a. - tahi ni hasuhuton (waris yang meninggal);
- dialap tahi kahanggi;
- didukung anak boru (ditungkoli);
- direstui mora (sihurtuk tondi).
b. dioban harajaon bonabulu (Bondul Na Opat) tu persidangan adat se Luat Sipirok
c. almarhum meninggal telah lanjut usia;
d. gabe dianak, gabe diboru;
- madung sae utang dohot tonunna, anak-anaknya telah berumah tangga;
- bercucu di anak laki-laki dan perempuan;
e. mampu (adong pambahonan);
f. ringgas manopot ulaon ni hula dohot dongan, tangi disululuton, inte disiriaon;
g. madung sidung sopo di balian, sae adat ni oppung dohot amangna.

Para tetua adat umumnya menyadari pemenuhan syarat-syarat tersebut sangat sulit, berpedoman kepada ungkapan “basa do adati, tai angkon tigor do uhum”. Faktor holong sangat menentukan untuk mengambil keputusan dalam sidang adat.***

Tuesday, September 18, 2007

Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (7)


Hubungan binatang gajah dengan Lobu Handis Tambatan Gaja (lokasi tidak jauh dari makam Timba Laut gelar Raja Pande Bosi Ompu ni Hatunggal). Gajah dalam upacara “Gaja Lumpat” di luat Sipirok.

Jauh sebelum kedatangan Islam Bonjol (tingki ni Pidari) pada awal abad ke-19 ke Luat Sipirok, marga Siregar Sipirok telah me-“ngadatkan” (budaya) suatu upacara adat sekali setahun yang dikenal dengan nama upacara “Gaja Lumpat”. Di belakang Kantor Pos Sipirok yang sekarang (pada zaman Belanda masih berkuasa tempat bangunan parsanggrahan/mess) “tempo doeloe” ada sebuah bukit yang oleh orang Sipirok dikenal dengan nama Dolok Pamelean (bukit tempat ma-mele, tempat memberikan persembahan kepada Debata Mulajadi/Allahewata Sombaon). Disitu tumbuh rumpunan pohon-pohon beringin tua yang rimbun daunnya, menjulang tinggi belasan meter. Dibawah pohon berdiri tegak 3 (tiga) buah batu lingga, satu diantaranya yang di tengah lebih tinggi dari yang lain, lambang kesuburan.

Sekali setahun marga Siregar se-napa-napa ni Sibualbuali mengadakan upacara korban di Dolok Pamelean kepada Allahewata Sombaon dengan maksud dan tujuan agar mereka memperoleh perlindungan dan terhindar dari penyakit terutama “begu attuk” (wabah kolera), serta juga diberikan panen padi dan jagung (makanan pokok) yang melimpah di Luat Sipirok. Di samping upacara korban, upacara ini dimaksudkan untuk mempererat persatuan dan kesatuan Raja-Raja marga Siregar di Luat Sipirok yaitu: Raja Parausorat, Raja Baringin Tumburjati dan Raja Sipirok. Upacara berlangsung sesudah habis panen (simpul manyabi) dan malam bulan purnama (bulan tula). Korban yang dirasakan pantas untuk dipersembahkan kepada Allahewata Sombaon bukan hewan atau benda lainnya, tetapi adalah manusia hidup, seorang laki-laki remaja (daganak nadung mandoli manggaira) yang sehat jasmani dan rohaninya, segar bugar dan hasil pilihan (seleksi).

Rangkaian upacara korban inilah yang disebut “Gaja Lumpat”, penyertaan nama Gaja karena di dalam upacara, binatang gajah hidup ikut berperan. Pada zaman itu, binatang gajah mudah saja mendatangkannya dari daerah Singkuang – Muara Batang Gadis.

Manusia yang akan dikorbankan terlebih dahulu diteliti dan dipilih dari sejumlah calon yang memang banyak mengajukan diri. Oleh para datu/orang pintar yang bertindak sebagai Panitia Seleksi terdiri dari 3 (tiga) orang masing-masing mewakili Harajaan Parausorat, Baringin Tumburjati dan Sipirok. Suatu kehormatan besar bagi calon korban hasil pemilihan, dan begitu juga kepada keluarga yang ditinggalkan. Hal sedemikian dapat dimengerti di dalam suasana zaman ha-sipelebeguon, paham animis menganut kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami sekalian benda, zaman dimana agama monotheisme belum dikenal.

Calon korban hasil seleksi, seorang pemuda tampan, sehat jasmani dan rohani, sebelum sampai di puncak acara, selama 7 (tujuh) hari dan 7 (tujuh) malam di “puja” dan di”rajakan” oleh Raja Parausorat, Baringin Tumburjati dan Sipirok. Dalam keadaan di-hipnotis/trance pada hari ketujuh di puncak acara, si korban memeluk batu lingga (lambang kesuburan) yang berdiri tegak di bawah pohon beringin (Haruaya), ditusuk dengan tombak Siguam (tombak pusaka marga Siregar Sipirok) dari arah belakang mengenai jantung dan menembus dada korban. Darah korban yang tumpah membasahi batu lingga (lambang kesuburan) dianggap sebagai sembahan yang pantas diberikan dan berkenan diterima oleh Allehewata Sombaon, yang akan membalasnya dengan berkat dan rahmat berupa terhindarnya Luat Sipirok dari malapetaka “begu attuk” (wabah kolera) dan melimpahnya panen padi dan jagung di napa-napa ni Sibualbuali tano pattis tano barerang (daerah gunung berapi).

Bersamaan dengan terbangnya arwah si korban, diyakini rohnya dengan gembira dan sukacita diterima oleh Allahewata Sombaon. Jenazah si korban dinaikkan ke atas gajah yang sebelumnya dipersiapkan. Badan gajah dihiasi dan dicat dengan 3 (tiga) warna: hitam melambangkan kegelapan (banua toru), merah melambangkan dunia fana, dunia kehidupan yang diidentifikasikan dengan darah (banua tonga), putih melambangkan dunia sorgawi (banua ginjang) tempat Allahewata Sombaon.

Oleh massa yang membludak, gajah diarak dengan semarak keliling Luat Sipirok dengan rute dari Dolok Pamelean kembali ke Dolok Pamelean, lewat Simaninggir, Pagaranpadang, Pagaranbujur, Baringin Tumburjati, Parausorat, Sialagundi, Batuolang, Hasang, Tor Sidinding Mataniari, Babondar (Bungabondar), Padang Handis Tambatan Gaja, Sampean, Bagas Godang Sipirok dan kembali ke Dolok Pamelean. Jarak yang ditempuh ± 20 kilometer, namun dibutuhkan waktu 3 (tiga) hari 3 (tiga) malam berlangsungnya upacara. Kenapa?..

Jalan gajah sengaja dibuat bengkok-bengkok, dengan harapan jenazah korban diatas gajah tidak dapat diikuti oleh begu (evil spirits), yang rupa-rupanya “tempo doeloe” sangat diperhitungkan kemungkinan gangguannya di Luat Sipirok. Maka begu harus diperdaya dengan membuat jalan gajah bengkok-bengkok. Di Luat Sipirok suasananya seperti pasar malam yang berpindah pindah, sejalan dengan arak-arakan dan jalannya gajah yang bengkok-bengkok. Tidak heran jika suasananya juga dimanfaatkan pemuda dan pemudi untuk mencari jodoh. Upacara “Gaja Lumpat” juga memakan korban manusia lain karena terinjak-injak gajah, sebab si gajah terus menerus diusik sepanjang perjalanan, agar dia tidak jalan santai dan lempang, yang akibatnya mudah di ikuti begu. Tapi si gajah harus jalan bengkok-bengkok, yang tentu saja sering membuat gajah panik dan mengamuk ke kiri dan kanan serta menabrak manusia-manusia yang didepannya dan atau apa saja yang dianggapnya menggangu.

Setelah Ompu Palti Raja meninggal dunia, Sutan Sayurmatua, Raja Parausorat (sikahangan) mengusulkan supaya gajah hidup diganti saja dengan gajah-gajahan dibuat dari bahan kayu, pakai ekor dan belalai lengkap dengan roda-roda supaya mudah digerakkan. Dibagian depan dan belakang pakai tali bahan maldo (sejenis rotan) yang panjang masing-masing ± 10 meter yang berfungsi sebagai pegangan menarik dan menahan gajah-gajahan secara massal (ramai-ramai).***

Monday, September 17, 2007

Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (6)


Kejadian2 aneh di sekitar lokasi Tugu Gaja (lanjutan):

2. Tatkala berlangsung pembangunan Tugu Gaja sekitar tahun 1977/1978.
Nara sumber: Kahar Nasution, kampung asal Muarasoma Batang Natal yang disampaikan kepada penulis. Beliau adalah pemborong bangunan Tugu Gaja Sibadoar, sekaligus juga sebagai kepala tukang.

Beliau menceritakan pengalamannya yang aneh, dan sepertinya tidak masuk akal, kejadiannya pada saat dimulainya mencor pundasi dan tiang batu tugu. Hari itu sekitar jam 09.00 pagi yang bercuaca cerah; sementara semen, pasir, kerikil telah siap diaduk dan pekerjaan men-cor akan segera dimulai. Pekerjaan mencor secara teknis harus dirampungkan sekaligus, tidak boleh tersendat-sendat karena hujan atau kekurangan bahan umpamanya. Tanpa diduga dari arah Timur seberang Aek Siguti terdengan suara hujan dan cuaca dilokasi bangunan berubah menjadi mendung yang tadinya cerah.

Oleh Kahar Nasution sesuai ajaran-ajaran orang tua yang diyakininya, segera melaksanakan upacara manyurdu burangir (si mula ni hata), dan memang oleh beliau telah disiapkan sebelumnya. Hakekat acara manyurdu burangir adalah meminta izin kepada mereka-mereka yang dimakamkan ditempat itu, serta memohon/berdoa kepada Tuhan, kiranya mereka yang bekerja mendirikan tugu dan memugar makam diberikan kelapangan dan hari baik, sehingga apa-apa yang mereka kerjakan pada hari itu dapat diselesaikan sesuai rencana. Aneh bin ajaib tetapi memang kenyataan, hujan memang turun lebat, tetapi hanya sebatas sungai, sebatas jembatan Aek Siguti, seolah-olah ada tembok penghalang yang membatasi mereka yang bekerja dengan lokasi jatuhnya hujan, berjarak ± 350 meter dari tempat mereka. Pekerjaan mencor pundasi dan tiang beton tugu dapat diselesaikan pada hari itu tanpa gangguan hujan.

3. Mengangkat patung Gajah ke pelataran tugu untuk dicor.
Patung gajah adalah partisipasi putra-putra Sibadoar yang ada di Pekanbaru. Dengan kendaraan truck yang dipandu oleh M.P.O. Siregar dan Raya Muda Siregar (mewakili putera- putera Sibadoar di Pekanbaru), patung gajah langsung dibawa ke lokasi bangunan.

Kesaksian Kahar Nasution kepala tukang bangunan.
Mereka buruh bangunan dan dibantu beberapa orang seingatnya ± 10 (sepuluh) orang, menurunkan patung gajah dari atas truck, dan mengangkatnya ketempat dudukan yang tesedia (dinaikkan ± 1.5 meter), untuk kemudian akan dicor. Beberapa kali telah dicoba diangkat, diselang-selingi istirahat melepas lelah, namun kenyataan patung gajah tidak dapat dinaikkan ke tempat dudukan yang telah tersedia. Mereka merasa seolah-olah ada tenaga adikodrati yang menahan setiap mereka mencoba mengangkatnya.

Sama seperti kejadian diatas, setelah diadakan upacara manyurdu burangir, setelah ada yang mengingatkan, hanya dengan tenaga 4 (empat) orang saja, patung gajah dapat diangkat ke tempat yang tersedia seolah ada tenaga adikodrati yang membantu, yang tidak berwujud ikut mendorong dan menaikkan patung gajah itu. Tenaga bantuan tanpa wujud, sangat dirasakan keberadaannya, membuat mereka yang hadir di lokasi Tugu sangat heran dan meninggalkan kesan tak terlupakan atas kejadian aneh itu.***

Monday, September 10, 2007

Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (5)


Sejak “tempo doeloe” Lobu Sibadoar dan sekitarnya dikenal ke-angkerannya, tempat hunian ular-ular berbisa, ular sendok dan cobra dan juga ulok sibaganding; dan disamping itu banyak situs atau makam-makam tua yang tidak dikenal. Perihal ulok sibaganding (disebut ulok na martua; ulok na denggan) konon dapat menimbulkan malapetaka terhadap orang yang usil mengganggu dan tidak menghormatinya, apalagi kalau sampai membunuhnya. Kepercayaan atas kesaktian ulok sibaganding, masih ber-urat ber-akar diyakini masyarakat umum di Luat Sipirok hingga hari ini. Angkernya lokasi di sekitar Tugu Gaja ini “tempo doeloe” membuat orang segan memasukinya, kendatipun hanya sekedar mengambil kayu bakar sehingga ada kesan tidak diurus; padahal lokasinya tidak jauh dari kampung, atau persawahan Huta Sibadoar.

Sebatang pohon Pau (Mangifera indica, sejenis pohon mangga) tua tumbuh subur di lokasi ini, dan mencapai tinggi antara 10 sampai 13 m berdaun rimbun; dikenal sebagai tanda medan, sehinga pada masa itu kalau disebut di daerah Sipirok Pau Sibadoar, orang akan mengerti bahwa yang dimaksudkan adalah bekas par-hutaon Sibadoar (Lobu Sibadoar). Sebelum bangsa Jepang masuk ke Sipirok pada tahun 1941 (Jepang masuk/mendarat di Sibolga pada bulan Maret tahun 1942), Pendeta Kondar Siregar, (lahir tahun 1875), putra Sibadoar, setelah pensiun dari jabatan pendeta kembali ke Huta Sibadoar. Beliau berkebun sayur di lokasi Lobu Sibadoar. Pada waktu itulah pohon Pau Sibadoar ditebang/disuruh tebangnya. Pendeta ini terkenal pemberani dan tidak takut akan keangkeran tempat itu, dan ulok sibaganding (ulok na martua, na denggan) penghuni Lobu Sibadoar oleh beliau dipindahkan ke tempat lain dengan cara menggendongnya dengan ulos Batak (tiga warna; merah, putih dan hitam). Kejadian ini diyakini kebenarannya, karena diceritakan oleh mereka yang ikut menyaksikannya.

Kejadian-kejadian aneh di sekitar lokasi Tugu Gaja.
1. Penemuan pusara/makam Ja Parjanjian (Mangaraja Parjanjian I) dan isterinya marga Harahap dari Sabungan Julu (daerah Angkola Julu).

Nara sumber:
a. Daulat Pane/Ja Kola gelar Batara Rumare, lahir Juli 1909
b. Ompu Nurman, meninggal sekitar tahun 1988, dalam usia 90 tahun lebih.

Pada tahun 1934, Mangaraja Parjanjian III, Raja di Sibadoar meninggal dunia dalam usia yang relatif masih muda. Puteranya laki-laki tertua bernama Sutan Panindoan Muda, pada waktu itu bertugas sebagai perawat kesehatan di Rumah Sakit Balige. Sehubungan dengan meninggalnya Mangaraja Parjanjian III, beliau sebagai ahli waris Raja Sibadoar, mengajukan permohonan untuk dipindah tugaskan di daerah Sipirok. Permohonan ini dikabulkan pada tahun 1935. Sesuai kesepakatan kahanggi, anak boru, mora dan hatobangon Huta Sibadoar, beliau diangkat menjadi Raja menggantikan ayahandanya yang telah meninggal dunia (pada waktu itu Raja diangkat berdasarkan hak waris). Di waktu senggang beliau/keluarga bertanam sayur-sayuran di lokasi Lobu Sibadoar milik pusakanya, tetapi tidak sampai mengganggu keberadaan pohon Pau Sibadoar. Pada waktu demikian itulah, isterinya marga Pohan dari Bagas Lombang Sipirok jatuh sakit. Jenis penyakit yang dideritanya tidak jelas, namun sebagai akibatnya badan penderita semakin lemah, nyaris tidak dapat meninggalkan tempat tidur kalau tidak dibantu, dan yang paling menyusahkan, penglihatan menjadi kabur mendekati buta.

Oleh suaminya Sutan Panindoan Muda, sebagai perawat kesehatan yang berpengalaman, berusaha sekuat tenaga dan kemampuannya untuk mengobati, namun sejauh itu tidak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan dan karena sudah berlarut-larut, keluarga menjadi pesimis dan menerima keadaan sebagaimana adanya. Seperti sudah diadatkan tempo doeloe, kahanggi, anak boru, mora dan hatobangon di Huta Sibadoar turut prihatin atas keadaan si sakit, serta juga turut berusaha mencari obat penawar agar sembuh. Berhubung sementara ada pendapat penyakit itu bukan penyakit biasa (disebut na ngali-ngali), mereka mencari dukun kampung (manopot datu) yang diketahui mempunyai kemampuan mengobati penyakit sejenis itu.

Orang pintar yang ditopot, seorang yang sudah lanjut usia marga Tambunan bernama Ja Itcor dari kampung tetangga yang statusnya kebenaran mar-mora atau anak boru dari marga Siregar Sibadoar. Oleh beliau sesuai “penglihatan” atau “amalannya” dengan tidak ragu-ragu mengatakan sakit yang diderita berawal dari “kebun sayur” yang dikerjakan di lokasi Lobu Sibadoar, ditempat mana berada makam/pusara pendiri Huta Sibadoar. Perlu diketahui kebun dimaksud sudah lama tertinggal/tidak lagi diusahai yaitu sejak boru Pohan sakit. Beliau melihat makam/pusara tidak dipelihara dengan baik oleh para turunannya. Seterusnya menurut penglihatan ada pohon besar mengotori makam/pusara, dan keadaan itu sudah berlangsung lama. Olehnya disarankan untuk menyingkirkan kayu/pohon yang mengotori makam. Inilah tandanya: supaya dicari tunggul kayu yang menghunjam kedalam tanah yang tidak ber-akar. Disitulah makam/pusara pendiri Huta Sibadoar, hendaknya pusara/makam itu dibersihkan dan dipelihara baik-baik, dengan demikian si sakit akan segera sembuh dan pulih kesehatannya seperti sedia kala. Sesuai saran dan petunjuknya, beberapa orang tua dari Huta Sibadoar, termasuk kedua narasumber tersebut pada suatu hari yang disepakati sebelumnya, mencari makam/pusara dimaksud.

Catatan:
Sampai dengan waktu kejadian itu, tempat makam/pusara pendiri Huta Sibadoar tidak diketahui, hanya diyakini berdasarkan cerita-cerita orang-orang tua terdahulu, makam/pusara ada disekitar pohon Pau Sibadoar yang sudah sangat tua, dan seingat orang-orang tua di Huta Sibadoar pada masa itu, pohon Pau Sibadoar sudah ada di lokasi Lobu Sibadoar sejak dia-nya masih anak-anak. Disekitar/dibawah pohon Pau Sibadoar, banyak ditemui tanda-tanda kuburan berupa batu-batu pembatas, dan ada juga berfungsi sebagai batu nisan namun tidak ada identitasnya.

Catatan:
Ada sementara keterangan, kuburan yang ada disekitar Pau Sibadoar, sebelah Timur arah matahari terbit pemakaman marga Siregar (raja bulu aor sipungka huta), sebelah Barat arah matahari terbenam pemakaman marga Pane. Kuburan na umpompar marga Lubis disebelah Utara (situasi sekarang seberang jalan raya). Marga Lubis dan Pane anak boru pusako (bantara kiri – pamintori ni mora), Huta Sibadoar. Pemakaman marga Sagala di Lobu Singkam di pinggir Aek Lampesong, kiri jalan raya Sibadoar ke jembatan Aek Siguti. Marga Sagala adalah mora marga Siregar (bantara kanan – sihurtuk tondi ni anak boru).

Memakan waktu 2 (dua) hari mereka mencari pohon kayu mati yang tidak ber-akar (tukko ni hayu na so mar-urat); akhirnya mereka menemukannya. Ada cabang pohon Pau bekas dipotong (tunggulnya lebih besar dari paha orang dewasa), jatuh menghujam/terbenam ke dalam tanah ± 1 (satu) meter, sebenarnya lebih dalam lagi, karena bagian pangkal yang terhujam sudah lapuk dan busuk, patah dan menyatu dengan tanah sewaktu dicabut.

Sesuai dengan petunjuk orang tua tadi, lokasi dibersihkan, dan nyatalah di situ ada tanda-tanda makam/pusara tua yang tidak terpelihara. Ditemukan ada batu nisan, dan batu-batu lain sebagai pembatas badan kuburan (marpangombing batu na marrimbasa). Hari sudah sore, hari kedua mereka mencari dan membersihkan makam/pusara sesuai petunjuk orang tua itu. Dan aneh, si sakit yang selama ini tidak dapat berdiri sendiri dari tempat tidur, seolah telah pulih kesehatannya, dan mereka temui di sore hari mereka telah kembali dari makam/pusara sedang duduk-duduk di serambi depan rumah, matanya yang tadinya rabun telah dapat melihat normal seperti sediakala.

Kepercayaan para nenek pendahulu kita tentang hal-hal gaib seperti kejadian ini tergambar dari ungkapan: “Martondi na mangolu, marsumangot do na mate, maninsal na so ni ida, gora-gora so binege”.

Friday, September 7, 2007

Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (4)


Salah satu turunan Badia Raja gelar Namora Tuat Sende diyakini sebagai pendiri bonabulu Huta Sibadoar yang pada awalnya ber-lokasi di sekitar pertemuan Aek Siguti dan Aek Lampesong; yang sekarang dikenal dengan nama Lobu Sibadoar bernama Ja Parjanjian (Mangaraja Parjanjian I), yang adalah generasi ke-5 jika dihitung dari Timba Laut gelar Raja Pande Bosi Ompu ni Hatunggal sebagai generasi awal.

Ja Parjanjian dengan isterinya boru Harahap dari Huta Sabungan Julu (daerah Angkola Julu) dimakamkan/pusaranya berada di lokasi “Tugu Gaja Sibadoar”. Di lokasi sekitar pertemuan Aek Siguti dengan Aek Lampesong (lokasi Lobu Sibadoar); sama dengan lobu-lobu lain disekitarnya dijumpai banyak makam-makam tua; diantaranya termasuk makam Ompu Raja Lintong Soruon; nenek/pendiri Tor Sidingding Mataniari (Babondar = Bungabondar). Tulang belulangnya (saring-saring) di-okkal/dipindahkan ke Huta Bungabondar pada tahun 1959. Pada tahun 1977, tugunya diresmikan oleh para turunannya dengan upacara adat Angkola di Huta Bungabondar.

Catatan:
Babondar – Bungabondar digoaran Sidaludalu Jae; Sipirdot – Sipirok digoaran Sidaludalu Julu.

Berdasar buku Tarombo/catatan silsilah dihitung dari yang diyakini sebagai pendiri Lobu Sibadoar yaitu Ja Parjanjian (Mangaraja Parjanjian I) sebagai generasi awal, keturunannya mencapai generasi ke-10 pada tahun 2000 M. Bilamana satu generasi dihitung 25 tahun; itu artinya Huta Sibadoar (Lobu Sibadoar) didirikan ± 250 tahun yang silam. Mengingat di lokasi Lobu Sibadoar banyak dijumpai situs atau makam-makam tua yang tidak dikenal, maka usia parhutaon Sibadoar masih memerlukan pengkajian dan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan kepastian. Disamping itu perlu dicatat pada saat Islam Bonjol (tingki ni Pidari) memasuki Luat Sipirok pada awal abad ke-19; huta Sibadoar sudah dikenal; jadi bukan perkampungan baru lagi.

Pada tahun 1975 sebagai hasil musyawarah hatobangon Huta Sibadoar antara lain: Sutan Panindoan Muda ; Effendy gelar Batara Saniang Naga dan Pintor Partogi gelar Sutan Mandame disepakati untuk membangun dan mendirikan Tugu Gaja Sibadoar; lokasinya di bekas parhutaon Sibadoar; dikenal dengan nama Lobu Sibadoar; berdekatan dengan makam/pusara Ja Parjanjian (Mangaraja Parjanjian I) bersama isterinya marga Harahap dari Sabungan Julu (daerah Angkola Julu). Setelah pembangunan selesai, diresmikan dengan pesta adat Angkola pada tahun 1981, didukung sepenuhnya oleh Anak/Boru/Bere-Pisang Raut Sibadoar di perantauan.

Catatan:
Gambar konstruksi Tugu dibuat oleh Amir Tambunan, mantan pejabat pada Kantor Pekerjaan Umum Wilayah Tapanuli di Padangsidempuan, anak boru Sibadoar.Tugu terdiri dari 4 (empat) tiang beton cor, tertinggi ± 6 meter, melambangkan pendiri Huta Sibadoar, sedang 3 (tiga) tiang beton cor lainnya tingginya ± 5 meter, melambangkan turunannya masing-masing:
1. Mangaraja Sotardogor
2. Ja Lumut
3. Ja Mangayun

Dipelataran tegak berdiri patung se-ekor Gajah Putih. Untuk pusara/makam Ja Parjanjian (Mangaraja Parjanjian I) dengan isteri marga Harahap boru dari Sabungan Julu (Angkola Julu) dibuatkan sebuah bale sesuai adat Angkola Sipirok.

Thursday, September 6, 2007

Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (3)


Anak Ompu Palti Raja berikutnya adalah :

2. Mogot Laut gelar Tor Lalo Dipartuan Raja Sutan Parlindungan;
asa jolmana siboru tindang panungkunan adat tuan laen bolon, na mora sari matua oloan, sinuan boyu ni Raja sian Sipahutar tano Humbang. Nampuna pusako “Hujur Siburnung” na ni ondamkon tu musu hona burnung; ulubalangna margoar: Ulubalang Lapung na mondol-ondol.

Membuka perkampungan pahulu Aek Lampesong (anak sungai Aek Siguti); letaknya tidak jauh dari Huta Paranjulu – Sipirok yang dinamakan Bonabulu Hosana (setelah ditinggalkan dinamakan Lobu Hasona). Beliau meninggal dan dimakamkan di Bonabulu Hasona. Turunannya generasi ke-3, yang bernama Dipartuan Mangaraja Mangalempang membuka perkampungan baru di hulu anak sungai Aek Siguti yang disebut Aek Batu Tunggal yang disebut Baringin Tumburjati, ganop langka mamorjati, na marparrapotan Asar ni Kak na marsopo gonjang sopo ratcang sio dalom magodang.

Pada tahun 1969 “saring-saring” (tulang belulang) dari Mogot Laut gelar Tor Lalo Muda Dipertuan Raja Sutan Parlindungan oleh turunannya di “okkal” dari Lobu Hasona ke Baringin. Mengingat Lobu Hasona tempat makam/pusara termasuk wilayah Harajaon Sipirok Bagas Godang (pembagian wilayah Kuria oleh pemerintah Hindia Belanda; legalisasi kekuasaan di lapangan/de-fakto); maka pada waktu saring-saring almarhum di-okkal/dipindahkan ke Baringin Tumburjati; sebelumnya diadakan suatu upacara khusus penyerahan saring-saring (tulang belulang) oleh yang mewakili Harajaon Sipirok Bagas Godang, pada waktu itu oleh Mangaraja Tua kepada Harajaon Baringin Tumburjati yang diwakili oleh Bachrum Siregar pada waktu itu menjabat sebagai Direktur SMA Sipirok bertempat di Poken Aek Sipirok Godang.

3. Timba Laut; gelar Raja Pande Bosi Ompu ni Hatunggal; anak bungsu; Raja Sipirok.
Sebagai anak bungsu dari Ompu Palti Raja (sianggian) sesuai adat menerima warisan sakral (hasahatan ni repe-repe) marga Siregar yang dipercaya mengandung mistik berupa: Tombak Siguam, berhiaskan rambut manusia korbannya; diyakini berfungsi di dalam upacara “Gaja Luppat” dalam rangka ma-“mele” Debata Mulajadi dengan mempersembahkan manusia hidup sebagai korban. Muda diondamkon diparmusuon, guamon sude alo. Selain tombak diwarisi juga pipa/cangklong yang bentuknya unik untuk menghisap tembakau serta tuku (bahan baku kayu) yang ditoreh dan bagian luarnya dibalut dengan mas (ampu harajaan); senjata raut Panaluan Jati (sejenis pisau) na tau monang di parmusuan dohot doal Sitingguang di Langit; sorana maninggual alamat monang marmusu, alamat bosur hangoluan.

Semua benda-benda sakral pusaka marga Siregar ini, konon sampai sekarang diwarisi dan disimpan turunan Kuria Sipirok. Marbonabulu di Padang Handis – Tambatan Gaja na marsopo gonjang sopo rancang sio dalom magodang na disuan bulu aor duri humaliang huta bonabulu na marpintu horbangan na ni jagoan ni goruk-goruk hapinis. Ulubalangna margoar: Parosang-osang Saharbangan. Sopo godang na marsalapsap pandenggani sio bandir paoto-otohon na marpanikkan marsamonding, martiang godang juguhan marpollung.

Anak kedua Timba Laut gelar Raja Pande Bosi Ompu ni Hatunggal atau cucu Ompu Palti Raja bernama Badia Raja gelar Namora Tuat Sende membuka perkampungan baru ke arah hulu Aek Siguti, lokasinya di pinggiran anak sungai yang bernama Aek Siharangkiang, tidak jauh dari Huta Pagaranpadang namanya: Hutaraja Tinggi Sidangar-dangar Sibadoar. Perkampunan ini kemudian berkembang, dan mendirikan perkampungan-perkampungan baru antara lain ke arah hilir Aek Siguti tidak jauh dari muara Aek Lampesong yang diberi nama: Huta Sibadoar; berkemungkinan karena di sekitarnya banyak tumbuh tanaman badoar (sejenis palma); kemudian nama perkampungan ini menjadi Lobu Sibadoar setelah ditinggalkan penghuninya.

Catatan:
Timba Laut gelar Raja Pande Bosi, Oppu ni Hatunggal mempunyai 3 (tiga) orang anak yaitu:
1. Sutan Mula Sontang; turunannya Bagas Lombang Sipirok; Bagas Godang Sipirok, dll.
2. Badia Raja gelar Namora Tuat Sende; turunannya di Sibadoar, dll.
3. Ja Hatunduhan; turunannya di Pagaranpadang, Simaninggir Sipirok, dll.

Badia Raja gelar Namora Tuat Sende diyakini makam/pusaranya di pinggir Aek Mandurana Tor Sibohi; sekitar lokasi per-hotelan Tor Sibohi.***

Wednesday, September 5, 2007

Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (2)


Diceritakan perkampungan awal kelompok marga Siregar di Luat Sipirok; lokasinya disekitar pertemuan Aek Siguti dengan anak sungainya Aek Pinagar (Pangirkiran Aek Siguti) yang dikenal dengan nama Rante Omas-Aek Siguti (Rantai Emas). Berdasarkan keterangan yang diperoleh, perkampungan ini menjadi “Lobu” (ditinggalkan penghuni terakhir) pada awal masuknya agama Islam Bonjol (tingki ni Pidari) ke Luat Sipirok pada awal abad ke-19.

Perkampungan berikutnya pahulu Aek Siguti (lokasinya sekitar Saba Jae) di seputar Tor Halihi (bukit burung Elang); disebut demikian karena dibukit itu dijumpai banyak sarang Elang; perkampungan ini disebut Padang Handis-Tambatan Gaja (Lobu Handis). Dari Padang Handis-Tambatan Gaja ini, kemudian dengan mengarungi Aek Siguti dengan anak-anak sungainya kelompok marga Siregar membuka perkampungan-perkampungan baru di Luat Sipirok.

Di sebuah bukit dekat perkampungan Padang Handis-Tambatan Gaja dimakamkan Timba Laut, Pande Bosi gelar Ompu ni Hatunggal; nenek pendiri Harajaon Siregar Sipirok, anak bungsu dari Palti Raja, yang sampai sekarang dihormati/dipelihara baik oleh turunannya yaitu Siregar Sipirok termasuk Siregar dari Huta Sibadoar. Makam/pusara berlokasi di sebuah bukit yang telah dipugar keturunannya bersebelahan dengan sebuah bukit yang “konon” tempat gajah peliharaan ditambat (Tambatan Gaja). Pada dinding bangunan makam ditulis:

IX Soetan Moeda Soadoeon
Voorzitter Comite MM
O ni Hatunggal
1932-1934


Catatan:
Angka IX menunjukkan monumen dibangun oleh turunan O ni Hatunggal generasi ke-IX.

Tidak jauh dari situ juga ditemui makam/pusara pendiri Bagas Lombang-Sipirok yang bernama Ja Manonging anak tertua dari Sutan Mula Sontang (putera tertua dari Timba Laut Raja Pande Bosi gelar Ompu ni Hatunggal).

Raja kelompok marga Siregar yang melegenda, serta dikenal sebagai penegak budaya Angkola-Sipirok (sipungka andung-andung di napa-napa ni Sibualbuali) dan cikal bakal raja-raja marga Siregar di Luat Sipirok yaitu: Raja Parausorat, Raja Baringin Tumburjati dan Raja Sipirok bernama: Salakkan Dipartuan Ampu Patih, Raja Ampu Patih Sabungan; Oppu Palti Raja.

Nama ini menjadi nama pusaka marga Sirear yang diturunkan dari generasi ke generasi berikut sampai sekarang. Beliau sangat dihormati marga Siregar Sipirok khususnya dimanapun mereka bermukim, begitupun marga-marga Batak lain pada zamannya yang mendiami Luat Pangaribuan, Padangbolak, Luat Urung dan Luat Harangan. Sebagai bukti kebesaran, namanya diabadikan dengan banyak gelar kehormatan sehingga dikenal dengan nama: “Salakkan Dipartuan Ampu Patih Raja Ampu Patih Sabungan” (di daerah Luat Sipirok lebih dikenal dengan nama: Ompu Palti Raja), Ompu Raja Sabungan, na sumuan haruaya di Onan Pangaribuan, Raja na patunggang-tunggang gaja, Raja na paampar-ampar ruji na patenggar-tenggar taji, na umpukka andung-andung di napa-napa ni Sibualbuali, banua na sonang tano na ngali.

Ompu Palti Raja mempunyai 3 (tiga) orang putera yaitu:

1. Ronggur Laut gelar Sutan Saur Matua;
anak sulung (sikahangan = pares interperamus), Raja Parausorat makam/pusaranya di Huta Sabatolang. Pemilik barang pusaka “Hujur Buaya Mangapung”; na tau pangapungan di parmusuon na marulubalang margoar Parmata Sapiak. Mendirikan perkampungan yang namanya Rante Omas (sama dengan nama perkampungan awal marga Siregar di Pangirkiran Aek Siguti; sekitar pertemuan Aek Siguti dengan Aek Pinagar). Lokasinya di pertemuan Aek Siguti, Aek Litta dan Aek Mandurana, tidak jauh dari perkampungan Padangmatinggi. Sebagai anak tertua (sikahangan) Raja Parausorat menjadi pengayom/pelindung Mahkamah/Peradilan Tertinggi di Luat Sipirok di Huta Rante Omas – Parausorat. Tempat Mahkamah/Peradilan ini disebut “Bona ni Asar” atau “Asar ni Kak”.

Catatan:
Bona ni Asar atau Asar ni Kak artinya sebuah/serumpun pohon beringin besar yang berdaun rimbun tempat burung Kak/Gawak bersarang; burung ini keluarga Elang Hitam, makanannya buah-buahan hutan.

Sebutan Bona ni Asar di Luat Sipirok, juga dikatakan Asar ni Kak, adalah sarang burung Kak/Gawak. Burung ini hidup berkelompok sampai ratusan jumlahnya. Burung dan tempatnya bersarang oleh masyarakat di Luat Sipirok “tempo doeloe” selalu dikaitkan dengan dengan mistik; karena burung ini diyakini sebagai burung peliharaan roh-roh (begu) dan tempatnya bersarang sangat ditakuti karena diyakini sebagai tempat hunian roh orang-orang yangg meninggal tidak wajar dan roh jahat lainnya; karenanya mengandung kekuatan magis.

Bona ni Asar, berfungsi sebagai tempat Mahkamah/Peradilan Adat Tertingggi di Luat Sipirok “tempo doeloe”. Berwenang mengadili perkara-perkara pidana dan perdata. Dan bilamana diperlukan dapat menjatuhkan hukuman “bunuh sampai mati”.
Anggota Mahkamah/Peradilan Adat terdiri dari Raja Parausorat, Raja Baringin Tumburjati dan Raja Sipirok. Jabatan Ketua merangkap Anggota Mahkamah/Peradilan Adat diatur secara bergilir dalam kurun waktu tertentu.

Dari situlah asal muasal perkataan sumpah termasyhur di Luat Sipirok dengan ucapan; “lalu tu Bona ni Asar” atau “lalu tu asar ni Kak”, yang kalau diterjemahkan artinya: sampai dibawah pohon Beringin sarang burung Kak/Gawak, disaksikan oleh roh-roh penghuninya saya tidak berbohong; dan kalau saya berkata bohong/tidak benar, biarlah saya dan keturunan saya kena kutuk atau tulah para roh (begu) penghuni Bona ni Asar.

Mengenai lokasi Bona ni Asar/Asar ni Kak yang mempunyai fungsi sebagai Mahkamah/Peradilan Adat Tertinggi di Luat Sipirok, selain di Rante Omas Parausorat, juga disebut-sebut:

a. Di Huta Rante Omas Pangirkiran Aek Siguti; perkampungan awal marga Siregar tatkala memasuki Luat Sipirok; nama huta ini di dalam perkembangan selanjutnya oleh anak tertua Ronggur Laut gelar Sutan Sayur Matua diabadikan di perkampungan baru dengan nama Rante Omas Parausorat di pertemuan Aek Siguti dengan anak-anak sungainya masing-masing Aek Linta dan Aek Mandurana.

b. Di Dolok Pamelean lokasinya di belakang Kantor Pos dan Kantor Camat, Kecamatan Sipirok sekarang; pada zaman kolonial Belanda dibangun pasanggerahan. Tempat ini selain berfungsi sebagai Mahkamah/Peradilan Adat Tertinggi, juga tempat ma-“mele” Debata Mulajadi, tempat upacara-upacara religius lainnya seperti pelantikan salah satu Raja dari ke-3 Harajaon marga Siregar di Luat Sipirok.

Disini tumbuh subur rumpunan pohon Beringin tempat burung Kak/Gawak bersarang yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan ekor. Pada waktu-waktu tertentu saat terik matahari, dan kadang kala di sore hari ratusan burung ini terbang berputar-putar mengelilingi sarangnya, dan bilamana ini kejadian akan ditafsirkan penduduk setempat akan “terjadi sesuatu” yang tidak biasa. Di bawah pohon Beringin ditegakkan 3 (tiga) buah batu lingga; salah satu diantaranya yang ditegakkan lebih tinggi dari yang lain; berbentuk tiang (phallus) lambang kesuburan. Pada waktu Islam Bonjol (tingki ni Pidari) memasuki Luat Sipirok; Dolok Pamelean diratakan, sedang batu lingga dihanyutkan ke sungai, rumpun pohon Beringin ditebang dan dibakar habis.***

Tuesday, September 4, 2007

Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (1)


Secara umum masyarakat Angkola diyakini berasal dari sekitar Danau Toba. Mereka hidup dari bertani, menangkap ikan dan berburu. Semula mereka hidup berkecukupan, namun setelah beberapa generasi jumlah penduduk tidak lagi sebanding dengan luas lahan pertanian. Ini sesuai dengan teori Malthus yang mengatakan: pertumbuhan penduduk sebagai deret ukur, sementara produksi makanan bertambah sebagai deret hitung.

Pada akhirnya produksi makanan tidak lagi memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebagian dari mereka harus meninggalkan kampung halaman dalam upaya mendapatkan lahan pertanian baru. Menurut adat yang berlaku sampai dengan sekarang di sekitar Danau Toba, anak sulung adalah pengganti orang tua sebagai pemimpin keluarga, sementara anak bungsu sebagai pewaris rumah (hasahatan ni rape-rape). Oleh karena itu yang paling pantas untuk pergi merantau adalah orang atau orang-orang diantara anak sulung dengan anak bungsu. Sudah tentu mereka yang lemah fisik dan mental tidak diikut sertakan mengingat tantangan dan kesulitan yang dihadapi untuk mendapatkan lahan pertanian baru.

Marga Siregar memasuki napa-napa ni Sibualbuali dari Pinarung-Pangaribuan; mengarungi sungai-sungai ke arah hulu Aek Simadoras, Aek Sagala, Aek Siguti dan sungai-sungai kecil lainnya di Luat Sipirok. Sebelumnya kelompok marga Siregar bertempat tinggal di Dataran Tinggi Humbang. Kelompok marga Siregar meninggalkan daerah ini mencari tempat tinggal baru untuk menghindarkan timbulnya perang saudara akibat terbatasnya lahan pertanian. Disamping alasan kekurangan lahan pertanian, kepindahan juga kemungkinan karena timbulnya wabah kolera (begu attuk) yang pada zaman itu melanda Tanah Batak secara periodik. Wabah kolera sepertinya menjadi checking over population di Tanah Batak “tempo doeloe”.

Setiap kali penduduk di suatu daerah berkembang biak dan menjadi padat penduduknya, sampai-sampai lahan pertanian tak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk, ditambah lagi kuran terpeliharanya kebersihan, disitulah timbul wabah kolera akut. Kadang-kadang wabah itu sedemikian parah dan ganas sampai-sampai menghabiskan 40 s/d 50% penduduk di suatu daerah hunian. Pada zaman dahulu bilamana wabah muncul disuatu daerah, maka penduduk yang belum ditulari, berusaha pindah secepatnya untuk mencari tempat hunian baru.

Catatan:
Di tano Humbang di Lobu Siregar, madung tolu bittang (= tahun) inda denggan eme bibi, tongtong songon bunga ni onjal-onjal marlampusung so ra bibi; asa langka buat ma Siregar gelar Aji Guru Tunggal Panaluan Jati menjalahi tano parhutaan, parladangan dohot parsabaan. Anakna margoar Dipartuan Ampu Patih, Raja Ampu Patih (= Oppu Palti Raja). Dipukka ma huta bonabulu na imbaru na digoaran Sabatangkayu, dipajonjong ma disi bagas gonjong, bagas rancang bagas sio dalom magodang. Asa digoar pe huta i Sabatangkayu (di Padangbolak Harangan); i ma baen hum sabatang hayu tuk ma parkayu ni bagas gonjong i. Di si ma tubu sinuan tunasna na margoar:
Ronggur Laut; Mogot Laut dohot Timba Laut.

Ibana ma na gabe Raja Bulu Aor, raja huta bonabulu; Raja Panusunan Bulung, Raja Panusunan Adat; asa jolmana si boru tindang panungkunan adat tuan laen bolon, na mora sari tua oloan. Asa dung mate Dipartuan Ampu Patih (= Ompu Palti Raja), asa madung sidung horjana, martahi ma sinuan tunas na tolu simanjujung, asa mangihutkon poda ni ama na matua na uli bulung; muda dung mate raja na sangap na badia i, sude sinuan tunasna rap mamungka huta bonabulu na be, asa rap jadi raja.

Asa taringot di bungkulan ni bagas gonjong, bagas rancang sio dalom magodang, Raja bulu aor ma na manyimpan na; ulang lupa di bona ni adat: “pantun hangoluan teas hamatean, jayatonan dilangkai abara ulu, jaru pe di toru kihik pamorsanan ninna Rajanta Ampu Patih Sabungan; Ompu Palti Raja”. Asa i ma dibaen na dioban bungkulan i sian Sabatangkayu tu napa-napa ni Sibualbuali, asa sinur na pinahan gabe na ni ula, rincan ma hamamora, rincan hagagabe, rinjan harajaon asa marserak sinuan tunas na tolu simanjujung i.

Sian Sabatangkayu marsoban kahanggina, marsiboan hula-hula bantara kanan (mora ni huta); marsiboan bayo-bayo bantara kiri (anak boru ni huta); marsiboan ulubalangna, marsiboan rayapna (rakyat) langka buat margondang dalan paihut-ihut manuk jantan ginanten puti.


“Dikutip dari tarombo Harajaon Siregar Angkola Dolok”.***

Satu pertanyaan yang menarik dan sering timbul di kalangan orang tua-tua dan cerdik pandai marga Siregar; Kapankah sebenarnya kelompok marga Siregar memasuki napa-napa ni Sibualbuali (Luat Sipirok)? Ada sementara pendapat sampai dengan masuknya Islam Bonjol (tingki ni Pidari) ke Sipirok pada permulaan abad ke-19, marga Siregar dengan kelompoknya telah bermukim di Luat Sipirok selama kurun waktu ± 17 generasi atau sekitar 450 tahun. Dengan perkataan lain kelompok marga Siregar telah memasuki Luat Sipirok sejak akhir abad ke-13 atau paling tidak pada awal abad ke-14 yaitu bersamaan dengan tengelamnya dinasti Syailendra di kerajaan Sriwijaya Palembang, dan atau pada permulaan timbulnya kerajaan Mojopahit di aliran kali Brantas, Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni baru di persada Nusantara.

Monday, September 3, 2007

Pengantar....


Ini adalah bagian PENGANTAR dari tulisan Papa, yang sebelumnya hanya dipublikasikan di kalangan tertentu, yaitu Punguan Anak/Boru/Bere-Pisang Raut Bonabulu Parhutaon Sibadoar di Medan. Mudah2an tulisan yang akan diposting secara bertahap bisa bermanfaat bagi kita semua..

PENGANTAR

Bertepatan dengan “Ulang Tahun ke 15 (1988-2003), Punguan Anak/Boru/Bere-Pisang Raut Bonabulu Parhutaon Sibadoar di Medan diadakan:
1. Pembaharuan/revisi Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)
2. Inventarisasi Anggota dan Alamat tempat tinggal.

Bersamaan dengan kegiatan “Ulang Tahun Punguan” pertemuan juga dimaksudkan untuk merayakan Tahun Baru 1 Januari 2003, serta untuk saling mengenal lebih dekat diantara sesama anggota dan keluarga khususnya. Didalam kata pengantar pertemuan disampaikan serba sedikit cerita rakyat berkenaan sejarah singkat Marga Siregar di luat Sipirok; lokasi awal par-hutaon Sibadoar, yaitu sejak dari Rante Omas Pangirkiran Aek Siguti, lokasinya sekitar pertemuan Aek Siguti dengan Aek Pinagar; Tambatan Gaja-Padang Handis, sesudah ditinggal disebut Lobu Handis; Sidangar-dangar Huta Tinggi Sibadoar dan Lobu Sibadoar.

Katakanlah ini “nostalgia”, kenangan masa silam yang dituturkan para nenek moyang pendahulu kita dari generasi ke- generasi (= sian sundut tu sundut).
Catatan: tempo doeloe:
tongtong do i ganop taon dung muli eme dohot jaung tu huta, diadongkon horja mangan ulu taon. Asa dung sidung butong mangan, maralong-along ma raja bulu aor (sipungka huta) na mangalong-alongkon tarombo, adat dohot harajaon ni raja na titik dori langit, raja na tarsambur dori bumi.

Karena tidak adanya peninggalan tertulis (surat Tumbaga Holing), kebenarannya masih perlu diuji dan dikaji ulang untuk kemudian dijadikan dokumentasi sejarah yang mempunyai nilai kebenaran, mengandung fakta yang perlu diketahui anak cucu generasi penerus.

Kita wajar merasa bangga kepada nenek pendahulu kita, yang telah berhasil mendirikan perkampungan Sibadoar, khususnya sejak Tambatan Gaja – Lobu Handis – Lobu Sibadoar dan Sibadoar yang sekarang. Tentunya para nenek pendahulu kita itu mempunyai kelebihan, atau katakanlah dengan istilah sekarang mempunyai nilai tambah.

Sejak kapan Padang Handis-Tambatan Gaja (= Lobu Handis) dan Lobu Sibadoar ditinggalkan penghuninya dan pindah ke Huta Sibadoar, tidak diperoleh keterangan yang jelas. Tetapi dugaan sementara sebab-sebab kepindahan “tempo doeloe” adalah untuk kepentingan keamanan. Bila mana diperhatikan lokasi perkampungan Huta Sibadoar; dikelilingi jurang-jurang yang dalam; lokasinya di puncak jurang yang strategis untuk perbentengan bilamana terjadi peperangan - peperangan antar kampung yang bukan tidak mungkin terjadi pada masa “tempo doeloe”.

Bukit kecil sebelah Utara perkampungan sampai saat ini, disebut “Tor Kubu” (bukit pertahanan). Pintu keluar masuk satu-satunya yang perlu diperhitungkan tempo doeloe bilamana terjadi serbuan-serbuan dari luar kampung; adalah jalan sempit yang mudah dipertahankan di sebelah Barat (jalan rata yang sempit arah ke Sipirok), di kiri-kanannya terdapat jurang sempit dan terjal. Sementara lokasi di belakang gereja dekat kuburan disebut “partondenan” yang artinya tempat untuk berpencak silat, jelasnya untuk tempat latihan agar terampil berkelahi.

Catatan: Lobu artinya perkampungan yang telah ditinggalkan penghuninya. Dalam bahasa Batak Toba, arti Lobu adalah kandang babi (pinahan). Berdekatan dengan Huta Sibadoar dikenal; Lobu Sibadoar; Lobu Sikkam di pinggir Aek Lampesong; Lobu Handis-Tambatan Gaja (Padang Handis-Tambatan Gaja) lokasinya disekitar Tor Halihi pada pertemuan Aek Siguti denan Aek Pinagar. Di sekitar lokasi perkampungan yang tertinggal; Lobu Handis, Lobu Sibadoar, Lobu Sikkam dan Rante Omas Pangirkiran, dijumpai banyak kuburan-kuburan tua yang tidak dikenal identitasnya; namun pusara-pusara ini seolah bercerita tentang eksistensinya/keberadaannya di masa silam.

Sibadoar: artinya tempat tumbuhnya tanaman badoar sejenis tumbuhan palma sebangsa rotan.

Kepada Anak/Boru/Bere-Pisang Raut Huta Sibadoar yang ada diperantauan (diparserahan/diaspora); ataupun yang ada di Bonabulu par-hutaon Sibadoar, diharapkan dapat memberikan saran-saran/sumbang saran serta koreksi dan bilamana mungkin tambahan data/cerita masa silam sehingga tulisan kalangan sendiri ini dapat dikembangkan sesuai keperluannya.

Seandainya didalam penulisan ada hal-hal yang menyinggung perasaan seseorang atau golongan, serta bilamana ada penyampaian data atau nama yang kurang lengkap, terlebih dahulu penulis mohon maaf. Kita berharap uraian mengenai Sejarah Singkat Perhutaon Bonabulu Sibadoar ini dapat diperbaiki dan disempurnakan pada kesempatan-kesempatan berikut. Sebagai penutup, kita mohon Kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, kiranya berkenan dan memberkati usaha-usaha membina hubunan baik Anak/Boru/Bere-Pisang Raut di perantauan (diparserahan/diaspora) dengan Bonabulu Huta Sibadoar.

Motto:
“Na tangi di siluluton, inte di sirison. Songon aek nada loja pa-ihut-ihut rura di ak ni harianan dohot di ak ni habornginan”.

“Hot didalihan na tolu; ojak di bondul na opat. Kahangi dongan martahi; Anak Boru-Pisang Raut pamintori; asa Mora sihurtuk tondi”. Horas tondi madingin, pir tondi matogu".

Medan, Januari 2003.

St. A. Siregar glr Baginda Habiaran.
Glr. Baginda Habiaran

Sunday, September 2, 2007

Papa...


Blog ini khusus berisikan tulisan2 Papa saya, Arden Thoman Siregar gelar Baginda Habiaran dari desa Sibadoar, Sipirok. Dengan harapan, agar karya2 tulis Papa dapat dibaca oleh masyarakat yang berminat dengan kebudayaan daerah Angkola Sipirok, khususnya generasi muda Angkola Sipirok.

Papa adalah anak ke-4 dari alm. Piter Siregar gelar Sutan Barumun Muda, pensiunan guru SMP 1 Sipirok yang berasal dari kampung Sibadoar, dengan alm. Nurmala (Menmen) Harahap (Opung Lintje) putri Tuongku Mangaraja Elias Harahap dari kampung Hanopan dan Petronella Siregar (Ompu Ni Paulina) dari kampung Bungabondar. Tiga saudara Papa adalah Berliana Siregar (pensiunan guru SMEA Sipirok), Harry Parhimpunan Siregar gelar Baginda Parhimpunan (alm. Pensiunan PNS di Pemda Provinsi Riau), Drs. Anwar Janthi Siregar gelar Baginda Soaduan (alm. Pensiunan TNI-AD).

Papa menikah dengan M. Harahap putri Baginda Soripada Paruhum Harahap, yang juga anak dari Tuongku Mangaraja Elias Harahap dari kampung Hanopan dan Petronella Siregar (Ompu Ni Paulina) dari kampung Bungabondar, dan memperoleh 6 anak dan 9 cucu. Anak2 Papa adalah : Rio Lardes Siregar, Sondha Monalisa Siregar, Julian David Hasudungan Siregar, Yance Rumondang Ulina Siregar, Ivo Christiana Siregar dan Nora Elizabeth Martinelly Siregar. Adapun cucu2 beliau adalah : Vania Lardes Siregar, Deviena Lardes Siregar (alm), Arden Thomann Denaldy Siregar (cucu laki2 tertua ini diberi nama mengikut nama Papa), Axell Nathaniel Wiranandra Siregar, Abner Naiara Harryndra Siregar, Samuel Gading Sisoantunas Sinambela, Esther Meilisa Maharani Sinambela, Monicca Nathalizabeth Sinambela dan Ananda Deandra***